BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nama “Daulah Umawiyah” berasal dari nama
“Umaiyah ibnu ‘Abdi Syams ibnu ‘Manaf, yaitu salah seorang dari
pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy dizamman jahiliyah. Umaiyah senantiasa
bersaing dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdi Manaf, untuk merebut pimpinan dan
kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dan ia memang memiliki cukup unsur-unsur
yang diperlukan untuk berkuasa dizaman jahiliyah itu, karena ia berasal dari
keluarga bangsawan, serta mempunyai cukup kekayaan dan sepuluh orang
putera-putera yang terhormat dalam masyarakat.
Sesudah datang Agama Islam berubahlah
hubugan antara Bani Umayyah dengan saudar-saudara sepupu mereka Bani Hasyim,
oleh karena persaingan-persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan tadi
beruibah sifatnya menjadi permusuhan yang lebih nyata, Bani Umayyah dengan
tegas menentang Rasulullah dan usaha-usaha beliau untuk mengembangkan Agama
Islam. Sebaliknya, Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah, baik
mereka yang telah masuk Islam ataupun yang belum.
Bani Umayyah barulah masuk Islam setelah
mereka tidak menemukan jalan lain, selain memasukinya, yaitu ketika Nabi
Muhammad bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya kepada
kerasulan dan pimpinannya, menyerbu masuk ke kota Mekkah.[1]
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana profil
dari khalifah Bani Ummayah?
2.
Bagaimana masa
pendidikan pada zaman Bani Ummayah?
3.
Apa tujuan
pendidikan pada masa Bani Umayyah?
4.
Siapa saja
tokoh-tokoh pendidikan dan peserta didik pada masa Bani Umayyah?
5.
Apa saja metode,
kurikulum, lembaga, dan evaluasi yang diterapkan pada masa Bani Umayyah?
C. Tujuan Masalah
1.
Dapat mengetahui
dan mengenal profil dari khalifah-khalifah besar Bani Umayyah.
2.
Dapat mengetahui
masa pendidikan pada masa Bani Umayyah.
3.
Dapat mengetahui
tujuan dari pendidikan pada masa Bani Umayyah.
4.
Dapat mengetahui
siapa saja tokoh-tokoh pendidikan beserta peserta didiknya pada masa Bani
Umayyah.
5.
Dapat mengetahui
metode, kurikulum, lembaga, dan evaluasi seperti apa yang diterapkan pada masa
Bani Umayyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
Silsilah
Khalifah Dinasti Bani Umayyah
A.
Profil Khalifah-khalifah
Bani Umayyah
1.
Muawiyah I (ibn
Abi Sufyan) 8. Umar ibn Abdul Aziz
2.
Yazid I (ibn
Muawiyah) 9. Yazid II (ibn Abdul Malik)
3.
Muawiyah II (ibn
Yazid) 10. Hisyam ibn
Abdul Malik
4.
Marwan I (ibn
Hakam) 11. Al-Walid
II (ibn Yazid II)
5.
Abdul Malik ibn
Marwan 12. Ibrahim ibn
al-Walid II
6.
Al-Walid I (ibn
Abdul Malik) 13. Marwan II
(ibn Muhammad)[2]
7.
Sulayman ibn
Abdul Malik
1.
Muawiyah I (ibn
Abi Sufyan) 41 – 60 H.
Muawiyah dilahirkan kira-kira 15 tahun
sebelum Hijriah, dan masuk Islam pada penaklukan kota Makkah bersama penduduk
kota Makkah lainnya. Waktu ia berusia 23 tahun.[3] Muawiyah
adalah bapak pendiri dinasti Ummayah. Dialah pembangun yang besar. Kesalahannya
yang mengkhianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat dapat dilupakan
orang karena jasa-jasa dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan. Muawiyah
mendapat kursi kekhalifahan setelah kursi kekhalifahan setelah Hasan ibn Ali
ibn Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 41 H. Muawiyah dibaiat oleh Islam
di Khufah sedangkan Hasan dan Husain dikembalikan ke Madinah.[4]
Rasulullah ingin sekali mendekatkan
orang-orang yang baru masuk Islam diantar pemimpin-pemimpin keluarga ternama
kepadanya, agar perhatian mereka kepada Islam itu dapat terjamin, dan agar
ajaran-ajaran Islam itu benar-benar tertanam dalam hati mereka. Sebab itu
Rasulullah berusaha suaya Muawiyah menjadi lebih akrab kepada beliau. Muawiyah
lalu diangkat menjadi anggota dari sidang Penulis Wahyu. Muawiyah banyak
meriwayatkan hadits, baik yang langsung dari Rasulullah, ataupun dari para
sahabat yang terkemuka, dan dari saudara perempuannya, Habibah binti Abi
Sufyan, isteri Rasulullah, dan dari Abdullah ibnu Abbas, Sa’ad ibnu Musaiyab,
dan lain-lain.[5] Muawiyah wafat di Damaskus
karena sakit dan digantikan oleh anaknya, Yazid yang telah ditetapkannya
sebagai putera mahkota sebelumnya.[6]
2.
Abdul Malik ibn
Marwan 65 – 86 H.
Abdul Malik dipandang sebagai pendiri
yang kedua bagi Daulah Umayyah. Ketika ia diangkat menjadi khalifah, Alam
Islami sedang berada dalam keadaan pecah-belah. Diantaranya,Ibnu Zubair di
Hijaz telah memprolamirkan dirinya sebagai khalifah, kaum Syi’ah mengadakan
pemberontakan, dan kaum Khawarij membangkang pula. Al Mukhtar ibnu ‘Ubaid as
Tsaqafi mengerahkan sejumlah besar tentara untuk mengganas.
Abdul Malik telah berhasil mengembalikan
seluruh wilayah taat kepada kekuasaannya. Begitu pula telah dapat menumpas
segala pembangkangan dan pemberontakan. Sebab itu ia berhak disebut sebagai
“pendiri yang kedua” bagi Daulah Umayyah.
Abdul Malik memperoleh pendidikan
tinggi, dan ia dipandang sebagai salah seorang dari ahli-ahli fiqh yang
kenamaan di Madinah, setaraf dengan Sa’id ibnul Musaiyab dan Urwah ibnu Zubair.
Asy Sya’bi (salah seorang ulama besar), pernah berkata tentang Abdul Malik
“Setiap kali aku berdebat dengan seseorang selalu ternyata bahwa aku dapat
melebihinya, kecuali Abdul Malik. Setiap kali aku berdebat dengannya tentang
suatau hadist atau sya’ir, ia senantiasa menambah pengetahuanku.`
Beliau tabah, tak dapat digoncangkan
oleh kesukaran-kesukaran yang bagaimanapun juga. Bahkan beliau malah ingin
mendobrak segala kesukaran-kesukaran itu.[7]
3.
Umar ibn Abdul
‘Aziz 99 – 101 H.
Umar ibn Abdul ‘Aziz dilahirkan di kota
Hulwan, tidak jauh dari Kairo, pada saat itu ayahnya seorang gubernur di Mesir.
Tetapi Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan bahwa Umar dilahirkan di Madinah. Silsilah
keturunanya dari pihak ibunya, bersambung kepada khalifah yang kedua yaitu Umar
ibnul Khattab. Dimasa kecilnya, ia tinggal bersama paman-paman dari ibunya di
Madinah. Dalam suasana yang semerbak itulah ia mempelajari bimbingan-bimbingan
dan pendapat-pendapat yang sehat, dan disana pulalah ia tumbuh dengan baik.
Pendidikan yang diperolehnya dalam masa tersebut mempunyai pengaruh yang besar
terhadap sifat-sifatnya yang istimewa dan terpuji.
Setelah ia menginjak usia remaja, ia
menikah dengan Fatimah yang merupakan seorang puteri dari Abdul Malik, pamannya
sendiri. Pada masa pemerintah Khalifah Al-Walid, Umar menjadi seorang gubernur
di Madinah.
Umar pernah dipecat oleh Khaliafah
Al-Walid dari jabatannya sebagai gubernur Madinah, karena terjadi perselisihan
antara Umar dan Al Hajjaj, atau karena Umar tidak menyetujui tindakan Al Walid
untuk memecat Sulaiman ibnul Abdil Malik dari kedudukannya sebagai putera
mahkota, dan untuk mengangkat putera Al Walid sendiri sebagai putera mahkota.
Masa pemerintahan Umar ibn Abdul ‘Aziz
ini, walaupun sangat pendek, namun ia merupakan suatu masa yang berdiri
sendiri, mempunyai ciri-ciri sendiri dan mengandung falsafah ilmu murni, yang
tidak terpengaruh oleh aliran-aliaran dan peraturan-peraturan Bani Umayyah.[8]
4.
Al-Walid I (ibn
Abdul Malik) 89 – 96 H.
Al-Walid dilahirkan pada tahun 50 H. Ia
mempelajari kebudayaan Islam. Tetapi pendidiknnya tentang bahasa Arab sangat
lemah, sehingga ia kurang fasih. Menurut riwata, ayahnya Abdul Malik pernah
berkata: “Cinta kasih kami kepada Al-Walid telah membahayakan dirinya, sebab
kami tidak mau mengirmkannya ke padang pasir”. Padahal padang pasir merupakan
sekolah yang terbaik bagi orang-orang yang ingin mempelajari bahasa Arab yang
fasih, jauh dari cacat-cacat yang biasa terdapat dalam bahasa orang-orang di
kota, yang disebabkan karena pergaulan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa asing.
Tetapi ayahnya tidak membiarkan Al-Walid dengan cacatnya itu, bahkan dengan
tegas ia berkata padanya: “Yang dapat memimpin bangsa Arab hanyalah orang yang
baik bahasanya”. Sebab itu, Al-Walid mengumpulkan ulama-ulama nahwu, lalu ia
belajar kepada mereka dengan rajinnya.
Al-Walid adalah orang yang terbaik untuk
menerima kerajaan itu, dan orang yang terbesar untuk memelihara warisan itu.[9]
5.
Hisyam ibn Abdul
Malik 105 – 125 H.
Masa pemerintahan Hisyam cukup lama, yaitu
kira-kira 20 tahun. Hisyam termasuk khalifah-khalifah yang terbaik. Terkenal
sebagai seorang penyantun dan bersih pribadinya. Ia telah mengatur
kantor-kantor pemerintahan dan membetulkan perhitungan keuangan negara dengan
amat teliti. Musuh-musuh Bani Umayyah pun mengakui kebagusan pembukuan dimasa
Hisyam. Abdullah ibnu Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas berkata: “Aku telah
mengumpulkan buku-buku administrasi Bani Marwan, maka tidak ada suatu buku
administrasipun yang lebih betul, dan lebih berfaedah bagi rakyat dan
pemerintah dari pada buku-buku administrasi Khalifah Hisyam”. Dengan demikian
keuangan negara dapat berjalan lancar dan sangat teratur, sehingga tak ada lagi
kesempatan untuk menggelapkan sejumlah uang yang seharusnya menjadi milik
Baitulmal.
Salah satu dari riwayat-riwayat yang
menceritakan bagaimana cermatnya Hisyam mengeluarkan uang ialah riwayat At
Thabari yang mengatakan bahwa ‘Aqqal ibnu Syabah datang menghadap Hisyam ketika
ia bermaksud mengutus ‘Aqqal ke Khurasan pada tahun 125 H. ‘Aqqal berkata:
“Ketika itu Hisyam memakai mantel berwarna hijau. Aku mengamat-amati mantelnya
itu. Rupanya Hisyam mengetahui hal ini dan ia bertanya kepadaku: “Apa sebabnya
kau renungi mantelku ini?” Aku menjawab: “Aku telah pernah melihat tuan memakai
mantel seperti ini sebelum tuan jadi khalifah 20 tahun yang lalu, sehingga aku
mengira bahwa mantel ini adalah yang dulu itu”. Hisyam berkata: “Betul, demi Allah,
ini adalah mantel yang dulu itu, dan aku tak punya mantel selain ini. Adapun
uang yang kukumpulkan dan kusimpan itu adalah unutuk kamu sekalian.[10]
B.
Sejarah Pendidkan
Pada Masa Bani Ummayah
1.
Pendidikan
Bani Ummayah pada umumnya baru masuk
Islam setelah fath al-Makkah. Bani Ummayah sebenarnya sudah mempunyai keinginan
untuk menduduki jabatan khalifah sejak saat Rasulullah meninggal, namun maksud
itu belum tercapai kaena ada halangan dari Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Kedua
tokoh ini adalah sahabat yang pert ama dan utama masuk Islam. Harapan Ummayah
baru tercapai setelah terpilihya Utsman bin Affan sebagai khalifah yaitu ketika
Muawiyah diangkat menjadi Gubernur di Syam.
Tewasnya khalifah Ali ibnu Abi Thalib
memberi kesempatan dan peluang yang baik untuk memuluskan harapan Muawiyah
yaitu menduduki jabatan khalifah, yang telah menjadi idamannya sejak Utsman bin
Affan menjadi khalifah. Naiknya Muawiyah menjadi khalifah berarti sistem baru
dalam kekhalifahan dimulai. Pengganti khalifah tidak lagi dipilh seperti
khalifah-khalifah sebelumnya, akan tetapi diwariskan kepada keturunannya. Dalam
mengendalikan pemerintahannya hampir seluruh perhatiannya ditunjukkan dalam
masalah politik dan keamanan. Percaturan politik dan gerakan-gerakan militer
yang terjadi pada masa ini, baik dalam usaha perluasan, wilayah Islam maupun
dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan militer yang terjadi, menimbulkan
pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang alam fikiran.
Menurut Hasan Nasution bahwa, ekspansi
yang dilakukan Dinasti Bani Ummayah inilah yang menjadikan Islam menjadi negara
besar di zaman itu. Dari persatuan berbagai bangsa dibawah naungan Islam,
timbullah benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam yang baru, sungguhpun Bani
Ummayah lebih banyak memusatkan perhatian kepada kebudayaan Arab. Pendapat ini
mengindikasikan bahwa kerajaan Ummayah bercorak Arab tulen walaupun ibu kotanya
berpindah dari jantung negari Arab kesuatu wawasan dimana bertemunya dua
peradaban Romawi dan Persia. Sastra dan syair-syair maju, sedang seni bidang
Islam terpampang di masjid Damaskus.[11]
Perubahan bahasa adminstrasi dari bahasa
Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab dimulai oleh Abdul Al-Malik.
Orang-orang bukan Arab pada waktu itu telah mulai pandai berbahasa Arab. Untuk
menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab, terutama pengetahuan
pemeluk-pemeluk Islam baru dari bangsa-bangsa bukan Arab, perhatian kepada
bahasa Arab, terutama tata bahasanya, mulai diperhatikan. Inilah yang mendorong
Sibawaih untuk menyusun Al-Kitab,
yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Perhatian kepada syair Arab Jahiliyah
timbul kembali dan penyair-penyair Arab timbul seperti Umar Ibn Abi Rabi’ah
(w.719 M), Jamil Al-Udhri (w. 701 M), Qays Ibn Al-Mulawwah (w. 699 M), yang
lebih dikenal dengan Majnun Laila, Al-Farazdaq (w.732 M), Jarir (w.792 M), dan
Al-Akhtal (w. 710 M).
Juga perhatian kepada tafsir, hadits,
fikih dan ilmu kalam di zaman inilah dimulai dan timbullah nama seperti Hasan
Al-Basri, Ibn Shihab Al-Zuhri dan Wasil Ibn Ata’. Yang menjadi pusat dari
kegiatan-kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak.[12]
Pada zaman Umayyah juga merupakan
permulaan gerakan terjemahan dari berbagai bahasa ke bahasa Arab, tetapi ini
terbatas pada individu-individu dan mencerminkan keprihatinan perseorangan atau
usaha-usaha pribadi.
Periode pendidikan Islam pada zaman
Umayyah memilki memilki beberapa ciri-ciri istimewa yaitu bercorak Arab dan
Islam tulen. Ini disebabkan karena pengaruh mayoritas orang Arab, sedangkan
elemen-elemen Islam yang baru belum menyerupai budaya dengan sempurna. Juga
karena unsur-unsur Arab itulah yang utama sekali memberi arah pemerintahan
politik, agama, dan budaya. Pada periode ini, diaturlah lingkaran-lingkaran
(halaqah) pelajaran di mesjid-mesjid.[13]
Pendidikan yang diperuntukkan bagi
rakyat biasa merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah dilaksanakan sejak
zaman Nabi masih hidup, yang merupakan sarana pendidikan yang sangat penting
bagi kehidupan agama. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan kehidupan Islam secara umum yang ada kaitannya dengan
budi daya dan peri kehidupan umat Islam sendiri. Dengan demikian, maka tidaklah
mengherankan bila usaha kegiatan pendidikan dan pengembangan ilmu memperoleh
kesempatan yang baik.[14]
2.
Tujuan
Tujuan dari kedua bentuk pendidikan
tersebut, maka akan diperoleh ilmu pengetahuan dan hakekat kebenaran yang
ditunjang oleh keyakinan agama. Pendidikan secara umum bertujuan untuk
memperoleh ilmu pengetahuan dengan ditunjang oleh keyakinan agama. Sedangkan
pendidikan khusus bertujuan untuk memperoleh kekuasan dan kekuatan politis.
Adanya perbedaan tujuan pendidikan ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan
hidup. Pendidikan umum menghasilkan pimpinan formal yang didukung oleh jabatan
kenegaraan dengan wibawa kekuasaan, sedangkan pendidikan khusus menghasilkan
para ulama atau pimpinan nonformal sebagai pendamping pimpinan formal.[15]
3.
Pendidik
Pendidikan terbagi ke dalam dua bagian
yakni pendidikan umum dan pendidikan khusus. Pendidikan umum adalah pendidikan
yang diperuntukan bagi rakyat biasa. Pendidkan ini merupakan kelanjutan dari
pendidkan yang telah dilaksanakan pada zaman nabi masih hidup, ia merupakan
sarana pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan agama. Dalam hal inilah, ulama
memikul tugas mengajar dan memberikan bimbingan serta pimpinan kepada
masyarakat. Ulama bekerja atas dasar kesadaran dan keinsyafan moral serta
tanggung jawab agama, bukan atas dasar pengangkatan dan penuujukan pemerintah.
Jaminan hidup mereka ditanggulangi sendiri dengan mengerejakan pekerjaan lain
diluar waktu tugas mengajar, atau ada juga yang menerima sumbangan dari murid-muridnya.
Pendidikan khusus yaitu pendidikan yang
diselenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak khalifah dan anak-anak para
pembesarnya. Guru-gurunya disebut muaddib, karena dibebani kewajiban mendidik
budi pekerti muridnya atau meriwayatkan kecerdasan dan kecakapan orang-orang
besar masa lampau. Para muaddib ini ditempatkan disekitar istana agar mereka
senantiasa mendampingin dan mengawasi muridnya.[16]
Tokoh-tokoh pendidikan pada masa Bani
Umayyah terdiri dari ulama-ulama yang menguasai bidangnya masing-masing seperti
dalam bidang tafsir, hadist, dan fiqh. Selain para ulama juga ada ahli
bahasa/sastra.
·
Ulama-ulama
tabi’in ahli tafsir, yaitu: Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah ‘Ikrimah, Sa’id bin
Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah.
Pada masa tabi’in tafsir Al-Qur’an bertambah luas
dengan memasukkan Israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang-orang Yahudi
dan Nasrani memeluk agama Islam. Diantara mereka yang termashyur ialah, Ka’bul
Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij.
·
Ulama-ulama
hadist: Kitab bacaan satu-satunya ialah al-Qur’an. Sedangkan hadist-hadist
hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Dari mulut guru ke mulut muridnya,
yaitu dari hafalan guru kepada murid sehingga menjadi hafalan murid pula dan
begitulah seterusnya.
Ulama-ulama sahabat yang banyak meriwayatkan
hadis-hadis ialah: Abu Hurairah (5374 hadist),
‘Aisyah (2210 hadist), Abdullah bin Umar (± 2210 hadist), Abdullah bin Abbas (±
1500 hadist), Jabir bin Abdullah (± 1500 hadist), dan Anas bin Malik (± 2210
hadist).
·
Ulama-ulama ahli
Fiqih: Ulama-ulama tabi’in Fiqih pada masa bani Umayyah diantaranya adalah
Syuriah bin Al-Harits, ‘alqamah bin Qais, Masuruq Al-Ajda’, Al-Aswad bin Yazid.
Kemudian diikuti oleh murid-murid mereka, yaitu:
Ibrahim An-Nakh’I (wafat tahun 95 H) dan ‘Amir bin Syurahbil As Sya’by (wafat
tahun104 H). Setelah itu digantikan oleh Hammad bin Abu Sulaiman (wafat tahun
120 H), guru dari Abu Hanafiah.
·
Ahli bahasa atau
sastra: Seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya Al-Kitab,
menjadi pegangan dalam soal berbahasa Arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada
syair Arab Jahiliyahpun muncul kembali. Mengalami. Di zaman ini muncul pula
penyair-penyair seperti Umar bin Abu Rabiah (w.719), Jamil al-uzri (w.701), Qys
bin Mulawwah (w.699) yang dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq
(w.732), Jarir (w.792), dan Al akhtal (w.710).
Dalam bidang pertama umpamanya dijumpai ulama-ulama
seperti Hasan al-Basri, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Wasil bin Ata. Pusat kegiatan
ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak. Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah
(w.794/709) adalah seorang otrator dan penyair yang berpikir tajam. Ia adalah
orang pertama yang menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran, dan
kimia.[17]
4.
Peserta Didik
Pada masa Bani Ummayah, adalah pendidikan
umum peserta didiknya yaitu, masyarakat pada umumnya, sedangkan pada pendidkan
khusus, peserta didiknya adalah anak-anak khalifah dan anak-anak para
pembesarnya.[18]
5.
Metode
Dalam pembelajaran al-Qur’an, metode
pembelajaran yang digunakan adalah metode hafalan, dimana anak-anak menghafal
surat-surat singkat dan mereka pun membaca bersama-sama, hal ini diulang
berkali-kali sampai merka hafal diluar kepala. Dalam metode ini soal dari arti-arti surat yang mereka hafal tidak
dipentingkan, murid-murid menghafal ayat-ayat tersebut tanpa mengerti maksudnya
hanya untuk sekedar mengambil berkat al-Qur’an dan menanamkan jiwa keagamaan,
jiwa yang soleh dan bertaqwa didalam diri anak-anak yang masih muda itu, dan
dengan keyakinan bahwa periode anak-anak adalah waktu yang sebak-baiknya buat
penghafalan secara otomatis dan memperrat ingatan.
Metode menghafal juga digunakan untuk
pengajaran syair dan sajak bagi anak-anak. Sedangkan untuk pembelajaran membaca
dan menulis diajarkan metode praktek langsung. Khusus untuk menulis diajarkan
menulis indah. Kaum muslimin sangat memperhatuk menulis diajarkan menulis
indah. Kaum muslimin sangat memperhatikan sekali soal menulis indah, dan
digolongkan dengan seni lukis.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pendidikan Islam pada zaman Bani Ummayah
adalah bersifat Arab dan Islam tulen, berusaha menangguhkan dasar-dasar agama
Islam yang baru muncul itu, memprioritaskan pada penterjemahan ke dalam bahasa
Arab, menunjukkan perhatian pada bahan tertulis sebagai media komunikasi,
menggunakan surau dan mesjid.[19]
6.
Kurikulum
Kurikulum pendidikan adalah rencana
pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Rencana pembelajaran yang
diberikan pada pendidikan khusus meliputi :
a.
Melukis dan
membaca
b.
Al-qur’an dan al-hadis
c.
Bahasa Arab dan
syair-syair yang baik
d.
Sejarah bangsa
Arab dan peperangannya
e.
Adab kesopanan
dan perilaku pergaulan
f.
Pelajaran
keterampilan menggunakan senjata, menunggang kuda dan kepemimpinan berperang
Sedangkan kurikulum yang disampaikan
pada pendidikan umum yaitu meliputi :
a.
Al-Qur’an
b.
Menulis
c.
Puisi
d.
Prosa
e.
Tata bahasa
sebagai alat bantu memahami al-Qur’an
f.
Kaligrafi[20]
Kurikulum yang diterapkan pada
pendidikan khusus diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali
pemerintahan, atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan dengan keperluan dan
kebutuhan pemerintahan. Kurikulum ini diatur bukan hanya oleh guru saja akan
tetapi orang tua murid pun turut pula menentukannya. Karena padatnya rencana
pelajaran bagi murid-murid, maka pendidikan agama yang diberikan tidak seluas
pendidikan lainnya. Sebab itu kebanyakan dari mereka tidak memilki kemampuan
untuk memberikan fatwa kepada rakyatnya. Rupanya hal ini dianggap tidak begitu
penting dan diperlukan. Bagi mereka mudah saja untuk mengangkat atau memanggil
Ulama yang ‘Alim, yang lebih mampu dan sanggup memberikan fatwanya. Tempat
pendidikannya berada dalam lingkungan istana. Guru-gurunya ditunjuk dan
diangkat oleh Khalifah dengan mendapat jaminan hidup lebih baik. [21]
7.
Lembaga
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan
bersifat desentrasi. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di
Damaskus, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya,
seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Syam (Palestina), Fistat
(Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat,
astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan,
seni rupa, amuoun seni suara.
Pada masa khalifah-khalifah Rasyidin dan
Umayyah sebenarnya telah ada tingkat pengajaran, hampir sama seperti masa
sekarang. Tingkat pertama ialah Kuttab, tempat anak-anak belajar menulis dan
membaca, menghafal Al-Qur’an serta belajar pokok-pokok Agama Islam. Setelah
tamat Al-Qur’an mereka meneruskan pelajaran ke mesjid. Pelajaran di mesjid itu
terdiri dari tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkah menegah gurunya
belumlah ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, gurunya ulama yang dalam
ilmunya dan mahsyur ke’aliman dan kesalehannya.[22]
Perhatian kepada tafsir, hadist, fikih,
dan ilmu kalma di zaman inilah dimulai dan timbullah nama-nama seperti Hasan
Al-Basri, Ibn Shihab Al-Zuhri dan Wasil Ibn Ata’. Yang menjadi pusat dari
kegiatan-kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak.[23]
·
Pendidikan
Keluarga
Pendidikan Islam dimulai sejak dalam
keluarga. Pergaulan anak dengan seisi rumah dan teman-teman sepermainannya
merupakan pengalaman. Yang sangat bernilai dan berkesan dalam jiwanya. Dari
pengalaman dan pergaulan inilah ia memperoleh kesan pendidkan yang pertama,
yang akan memberi bentuk dan corak kepribadian serta keimanan anak pada masa
dewasanya.
Asas-asas pokok perkembangan anak masih
bersifat kejadian, ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya tanpa
berdasarkan perbuatan dan kemauan. Karena itu, anak lebih memerlukan bantuan
dan pertologan serta dorongan dari orang-orang yang telah dewasa. Dalam
kelangsungan pertumbuhan dan perkembangannya itu, ia membutuhkan pemeliharaan
dan pembinaan umum serta latihan-latihan tingkah laku, gerakan-gerakan dan lain
sebagainya, hingga ia kelak sanggup dan mampu melaksanakan segala apa yang
perlu bagi hidup dan kehidupannya.[24]
·
Kuttab
Setelah anak cukup umur untuk menerima
pelajaran yang lebih maju daripada pendidikan di rumah, mereka memerlukan
pendidikan di rumah, merka memerlukan pendidikan yang lebih terarah yang tidak
mungkin diaksanakan oleh orang tuanya semata, akan tetapi memerlukan bantuan
orang lain yang lebih mampu dan sanggup mengerjakannya.
Menempatkan anak-anak belajar di mesjid,
akan menimbulkan kegaduhan yang mengganggu orang lain yang sedang melaksanakan
ibadahny. Selain itu, kebersihan mesjid pun tidak terjamin. Jalan keluar dari
kesulitan ini adalah mendirikan ruangan khusus di luar rumah dan di luar
ruangan mesjid. Tempat belajar anak-anak ini kemudian disebut Kuttab.
Sebenarnya Kuttab ini telah ada sejak zaman Jahiliyah, yaitu tempat belajar
membaca dan menulis bagi anak-anak, hanya saja kurang mendapat perhatian.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kuttab
ini mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan bentuk serta sistem
organisasinya. Akan tetapi, bentuk Kuttab yang pertama masih tetap menjalankan
fungsinya semula, dengan guru-gurunya terdiri dari orang-orang Dzimmi yang
melulu mengajar menulis dan membaca. Guru-guru Kuttab di Madinah adalah orang-orang
Yahudi, dan tatkala terjadi perang Badr, gurunya adalah orang-orang Quraisy
yang menjadi tawanan kaum Muslimin. Sedang guru bagi Kuttab lainnya adalah kaum
Muslimin sendiri. Mereka tidak hanya mengajar membaca dan menulis semata, akan
tetapi juga mengajarkan al-Qur’an dan dasar-dasar pokok ajaran agama Islam.
Kuttab ini mulai muncul pada zaman Al Hajjaj Ibnu Yusuf Ats Tsaqafi. Dalam Kuttab
ini, anak-anak mulai menghafal al-Qur’an secara teratur. Ide pemerataan
kecerdasan umum bagi seluruh rakyat telah dilaksanakan dalam Kuttab ini.[25]
·
Mesjid
Mesjid merupakan suatu lembaga
pendidikan Islam sejak awal pertama dibangun oleh Nabi SAW. Dari mesjid
dikumandangkan seruan iman, taqwa, akhlak, dan ajaran-ajaran kemasyarakatan;
baik yang berhubungan dengan kehidupan kenegaraan maupun yang berhubungan
dengan sosial ekonomi dan sosial budaya yang adil dan beradab serta diridhoi
Allah SWT. Guru pertamanya adalah Rasulullah SAW sendiri. Pada saat mengajar
beliau duduk dikelilingi oleh para sahabatnya, tua dan muda. Dasar-dasar
pendidikan telah diletakkan dengan kokoh dan mendasar dalam teori dan dalam
suasana praktis. Materi pelajaran adalah al-Qur’an.
Peranan mesjid sebagai pusat pendidikan
dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya cakap
dan mampu untuk memberikan atau mengajarakan ilmunya kepada orang yang haus
akan ilmu pengetahuan. Setelah pelajaran anak-anak di Kuttab berakhir, mereka
melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah yang dilakukan di mesjid.[26]
·
Majlis Sastra
Majlis sastra adalah perkembangan dari
mesjid yang biasa dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin bersama para sahabat
lainnya untuk bermusyawarah dan berdiskusi tentang masalah-masalah yang
memerlukan pemecahan secara tuntas. Dalam majlis ini para sahabat mempunyai
kebebasan yang penuh dalam mengemukakan kritikan-kritikan dan
pendapat-pendapatnya.[27]
8.
Evaluasi
Dari pendidikan yang diberlakukan pada
masa Bani Umayyah, tidak ditemukan evaluasi yang berlaku umum. Karena disamping
pola pendidikannya masih sangat sederhana. Evaluasi juga dilakuakan per satuan
pendidikan. Hanya saja, pada skala makro, khalifah atau gubernur di masa itu
memang melakukan evaluasi berbagai paham atau wacana keagamaan yang berkembang
di tengah-tengah masyarakat. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi menguatnya
paham qadariyyah yang dianggap mengancam eksistensi kekuasaan Bani Umayyah.
BAB III
ANALISIS
Bani Umayyah adalah orang-orang terakhir
masuk Agama Islam, dan juga merupakan musuh-musuh yang paling keras terhadap
agama ini pada masa-masa sebelum mereka memasukinya.[28] Bani
Ummayah pada umumnya baru masuk Islam setelah fath al-Makkah. Bani Ummayah
sebenarnya sudah mempunyai keinginan untuk menduduki jabatan khalifah sejak
saat Rasulullah meninggal, namun maksud itu belum tercapai kaena ada halangan
dari Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Kedua tokoh ini adalah sahabat yang pert
ama dan utama masuk Islam. Harapan Ummayah baru tercapai setelah terpilihya
Utsman bin Affan sebagai khalifah yaitu ketika Muawiyah diangkat menjadi
Gubernur di Syam.[29] Tetapi
setelah masuk Islam, mereka dengan segera dapat memperlihatkan semangat
kepahlawanan yang jarang tandingnya, seolah-olah mereka ingin mengimbangi
keterlambatan mereka itu dengan berbuat jasa-jasa yang besar terhadap Agama
Islam, dan agar orang lupa kepada sikap dan perlawanan mereka terhadap Agama
Islam sebelum mereka memasukinya. Mereka benar-benar telah mencatat prestasi
yang baik sekali dalam peperangan yang dilancarkan terhadap orang-orang yang
murtad danorang-orang yang mengaku Nabi, serta orang-orang yang enggan membayar
zakat.[30]
Pada periode pemerintahannya, Dinasti Bani Umayyah
terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri sekaligus memperluas daerah
kerajaan. Hal ini berdampak kepada kurangnya perhatian pada perkembangan ilmiah
keagamaan, termasuk pendidikannya.
Syed
Ameer Ali mengatakan: “Selama pemerintahan Bani Umayyah orang-orang Arab telah
dijadikan golongan berkuasa, ___ golongan bangsawan militer dalam
kalangan rakyat mereka. Kebanyakan dari mereka menduduki jabatan pimpinan
militer. Jabatan-jabatan yang lembut tentang ke’arifan dan ilmu pengetahuan
diserahkan kepada Bani Hasyim yang mereka curigai itu dan anak-anak kaum Anshar
___ kepada keturunan Ali, Abu Bakar dan Umar.[31]
Dalam periode ini, tampak terjadi
polarisasi antara tradisi istana dengan ilmiah keagamaan. Sehingga membentuk
dua jenis pendidkan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu pendidkan
khusus dan pendidkan umum.[32] Adapun
bidang keilmuan yang berhasil dikembangkan seacara spektakuler dan memilki
pengaruh besar sampai masa kin adalah bidang hadis terutama semenjak Khalifah
Umar bin Abdul ‘Aziz memerintah sekaligus berperan langsung dalam gerakan
kodifikasi hadis di pergantian abad I-II H.
Ekspansi yang dilakukan Dinasti Bani
Ummayah inilah yang menjadikan Islam menjadi negara besar di zaman itu. Dari
persatuan berbagai bangsa dibawah naungan Islam, timbullah benih-benih
kebudayaan dan peradaban Islam yang baru, sungguhpun Bani Ummayah lebih banyak
memusatkan perhatian kepada kebudayaan Arab. Pendapat ini mengindikasikan bahwa
kerajaan Ummayah bercorak Arab tulen walaupun ibu kotanya berpindah dari
jantung negari Arab kesuatu wawasan dimana bertemunya dua peradaban Romawi dan
Persia. Sastra dan syair-syair maju, sedang seni bidang Islam terpampang di
masjid Damaskus. Hal ini diungkapakan oleh Hasan Nasution.[33]
Untuk mendorong perkembangan ilmu pengetahuan
maupun agama, pada masa pemerintahan Bani Umayyah dilakukan dengan jalan
memberikan motivasai yang dilakukan oleh para khalifah. Mereka selalu
memberikan hadiah cukup besar bagi para ulama dan ilmuwan yang berprestasi
dalam bidangnya. Untuk itu pemerintahan menyediakan anggaran yang cukup besar.
Pusat penyebaran ilmu pengetahuan dan
agama pada waktu itu terdapat di mesjid-mesjid. Dimesjid-mesjid itulah terdapat
kelompok belajar dengan masing-masing gurunya yang mengajar ilmu agama dan
umum. Sebagai contoh, Abdullah bin Abbas mengajar ilmu tafsir di Masjidil Haram
Mekkah dan Ja’far Ash Shidiq mengajar ilmu Kimia di mesjid Nabawi Madinah.[34]
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dinasti daulah Bani Umayyah berkuasa
cukup lama yakni kurang lebih 91 tahun lamanya. Kebijakan dan perubahan yang
dilakukan oleh para khalifah tersebut pelajaran penting bagi pemimpin-pemimpin
Islam saat ini. Bani Umayyah dalam pengembangan pola pendidikan Islam memang
masih sama dengan periode sebelumnya tetapi sudah ada reformasi yang dilakukan
dengan baik dari segi kurikulumnya maupun tata cara yang dilakukan oleh para
pendidiknya.
Kemajuan pengetahuan dan pembaharuan
sistem pendidikan pada masa Bani Umayyah sudah terlihat. Terbukti dengan
pemerintah Bani Umayyah yang menaruh perhatian sangat dalam terhadap bidang
pendidikan. Memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan
penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar ilmuan, para seniman,
dan para ulamamau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta
mampu melakukan kaderisasi ilmu.
B.
Saran
Dengan mengetahui sejarah pendidikan pada masa Bani
Umayyah, kita sebagai mahasiswa diharapkan mampu mengambil pelajaran dan hikmah
dari sejarah pendidikan pada masa tersebut. Sehingga kita bisa mengaplikasikan
dan mengembangkan pada lembaga-lembaga pendidikan yang kita bina nantinya.
Pemakalah menyadari, bahawa dalam penulisan makalah
ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahannya. Untuk itu, kami selaku
pemakalah meminta kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
Harun. 2011. Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia
Syalabi, A. 1988. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Hamzah, Yusuf. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Tasikmalaya: YSB. PP. Suryalaya
Soekarno, H. dan Ahamd Supradi.1990. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:
Angkasa
[1] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta
Pusat: Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988. Hal.24
[2] Dr. Ali Mufrodi, Islam Di
Kawasan Kebudayaan Arab, Surabaya: Logos
Wacana Ilmu, Cet.I, 1997 hal. 72
[3] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat:
Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988 hal.30
[4] Dr. Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan
Kebudayaan Arab, Surabaya: Logos Wacana Ilmu, Cet.I, 1997 hal. 73
[5] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988 hal.30
[6] Dr. Ali Mufrodi, Islam Di
Kawasan Kebudayaan Arab, Surabaya: Logos
Wacana Ilmu, Cet.I, 1997. Hal. 74
[7] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat:
Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988 hal.69
[8] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988, hal.101
[9] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988, hal.88
[10] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988, hal.124
[11] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan
Islam, Hal. 23
[12] Harun Nasution, Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia, 2011, hal. 57
[13]
Yusuf Hamzah, Sejarah
Pendidikan Islam, hal. 23
[14] Drs. H.
Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: 1990, Angkasa, hal.73
[15] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan
Islam, hal. 24
[16] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan
Islam, hal. 24
[17] http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/
[18] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan
Islam, hal. 25
[19] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan
Islam, hal. 25
[20] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan
Islam, hal. 25
[21] Drs. H.
Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:
1990, Angkasa, hal.73
[22]
http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/
[23] Harun Nasution, Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia, 2011, hal. 57
[24] Drs. H.
Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Angkasa, 1990, hal.74
[25] Drs. H.
Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Angakasa, 1990, hal.78
[26] Drs. H.
Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Angkasa, 1990, hal.80
[27] Drs. H.
Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Angkasa,1990, hal.82
[28] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan
Islam 2, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988, hal.26
[29] Yusuf
Hamzah, Sejarah Pendidkan Islam, hal.23
[30] Prof.
Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna,
Cet.V, 1988, hal.26
[31] Drs. H.
Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Angakasa, 1990, hal.71
[32] Drs. H.
Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Angakasa, 1990, hal.73
[33] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan
Islam, Hal. 23
[34] Fatwa,
hal.4