Jumat, 02 Januari 2015

Sebab Diamku, “Aku Ingin Mencintaimu Karena Allah”


Bismillah, bukan itu yang ku mau
diamku, bukan karena aku bisu
tak melihatmu, bukan ku melupakanmu
acuhkan kata-katamu, bukan ku telah bosan padamu
Sungguh!
karena ku takut salah niatku padamu
jangan pernah kau menyalahkan cinta
tapi salahkan mereka yang menyalahgunakan cinta hingga berbuat dosa
            Bila belum siap melangkah lebih jauh dengan sesesorang,
            cukup cinta itu dalam diam.
            karena diammu, adalah salah satu bukti cintamu padanya
Ku ingin memuliakan dia
dengan tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang
ku tak mau menjaga kesucian dan penjagaan hatimu
karena diammu memuliakan kesucian diri dan hatimu
menghindarkanmu dari hal-hal yang merusak ‘izzah dan iffahmu’
karena mungkin saja orang yang kau cintai,
adalah orang yang telah Allaj SWT benar-benar pilihkan untukmu
            Karena dalam diammu, tersimpan kekuatan
                kekuatan harapan, impian.
hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan dan impianmu menjadi nyata
dan cintamu yang ‘diam’ itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata
bukankah,
Allah tak akan memutuskan harapan hambanya yang berharap dan berdo’a pada-Nya?
Dan jika memang benar ‘Cinta Dalam Diammu’  itu,
tak memiliki kesempatan berbicara dalam dunia nyata
biarkan ia tetap diam. Iya, biarkan
karena Allah SWT msih punya rencana dan ‘hadiah’ lain untukmu
jika dia memang bukan milikmu,
melalui waktu akan menghapus ‘Cinta Dalam Diammu’  itu,
dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat oleh Allah SWT
biarkan ‘Cinta Dalam Diammu’  itu,
menjadi memori tersendiri antara kau dengan Sang Pemilik Hatimu Allah SWT
            Sudahkah aku patut untuk dia? Benar-benar pantas?
            biarkan jiwamu terbang bebas menjalani semua niatmu
            yang terpenting, kita perlu berbaik sangka selalu kepada Allah SWT
            pasangan kita, adalah cerminan sosok yang hampir mirip kita
            cintamu pada orang yang kau cintai dan sayangi,
            titipkanlah. Titipkanlah pada Allah SWT
            sebab, hanya pada Allah SWT Yang Maha Menjaga
dikala kau dan dia saling berjauhan,
dikala kau dan dia saling memendam rindu ingin bercinta
Allah menjaga dengan menenangkan hatimu, melalui dzikir dan tadabur
‘Cintamu pada orang yang sungguh-sungguh kau sayangi, adalah Milik-Nya’
(Ummi Tini, pada Seminar Pelajar Ciamis, 13 Februari 2011)

Rabu, 24 Desember 2014

PENDIDIKAN PADA MASA BANI UMMAYAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Nama “Daulah Umawiyah” berasal dari nama “Umaiyah ibnu ‘Abdi Syams ibnu ‘Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy dizamman jahiliyah. Umaiyah senantiasa bersaing dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdi Manaf, untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dan ia memang memiliki cukup unsur-unsur yang diperlukan untuk berkuasa dizaman jahiliyah itu, karena ia berasal dari keluarga bangsawan, serta mempunyai cukup kekayaan dan sepuluh orang putera-putera yang terhormat dalam masyarakat.
Sesudah datang Agama Islam berubahlah hubugan antara Bani Umayyah dengan saudar-saudara sepupu mereka Bani Hasyim, oleh karena persaingan-persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan tadi beruibah sifatnya menjadi permusuhan yang lebih nyata, Bani Umayyah dengan tegas menentang Rasulullah dan usaha-usaha beliau untuk mengembangkan Agama Islam. Sebaliknya, Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah, baik mereka yang telah masuk Islam ataupun yang belum.
Bani Umayyah barulah masuk Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain, selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya kepada kerasulan dan pimpinannya, menyerbu masuk ke kota Mekkah.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana profil dari khalifah Bani Ummayah?
2.      Bagaimana masa pendidikan pada zaman Bani Ummayah?
3.      Apa tujuan pendidikan pada masa Bani Umayyah?
4.      Siapa saja tokoh-tokoh pendidikan dan peserta didik pada masa Bani Umayyah?
5.      Apa saja metode, kurikulum, lembaga, dan evaluasi yang diterapkan pada masa Bani Umayyah?


C.     Tujuan Masalah
1.      Dapat mengetahui dan mengenal profil dari khalifah-khalifah besar Bani Umayyah.
2.      Dapat mengetahui masa pendidikan pada masa Bani Umayyah.
3.      Dapat mengetahui tujuan dari pendidikan pada masa Bani Umayyah.
4.      Dapat mengetahui siapa saja tokoh-tokoh pendidikan beserta peserta didiknya pada masa Bani Umayyah.
5.      Dapat mengetahui metode, kurikulum, lembaga, dan evaluasi seperti apa yang diterapkan pada masa Bani Umayyah.




                                                                   BAB II      
PEMBAHASAN

Silsilah Khalifah Dinasti Bani Umayyah
A.    Profil Khalifah-khalifah Bani Umayyah
1.      Muawiyah I (ibn Abi Sufyan)             8.  Umar ibn Abdul Aziz
2.      Yazid I (ibn Muawiyah)                     9.  Yazid II (ibn Abdul Malik)
3.      Muawiyah II (ibn Yazid)                    10. Hisyam ibn Abdul Malik
4.      Marwan I (ibn Hakam)                       11. Al-Walid II (ibn Yazid II)
5.      Abdul Malik ibn Marwan                   12. Ibrahim ibn al-Walid II
6.      Al-Walid I (ibn Abdul Malik)             13. Marwan II (ibn Muhammad)[2]
7.      Sulayman ibn Abdul Malik
1.      Muawiyah I (ibn Abi Sufyan) 41 – 60 H.
Muawiyah dilahirkan kira-kira 15 tahun sebelum Hijriah, dan masuk Islam pada penaklukan kota Makkah bersama penduduk kota Makkah lainnya. Waktu ia berusia 23 tahun.[3] Muawiyah adalah bapak pendiri dinasti Ummayah. Dialah pembangun yang besar. Kesalahannya yang mengkhianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan. Muawiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah kursi kekhalifahan setelah Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 41 H. Muawiyah dibaiat oleh Islam di Khufah sedangkan Hasan dan Husain dikembalikan ke Madinah.[4]
Rasulullah ingin sekali mendekatkan orang-orang yang baru masuk Islam diantar pemimpin-pemimpin keluarga ternama kepadanya, agar perhatian mereka kepada Islam itu dapat terjamin, dan agar ajaran-ajaran Islam itu benar-benar tertanam dalam hati mereka. Sebab itu Rasulullah berusaha suaya Muawiyah menjadi lebih akrab kepada beliau. Muawiyah lalu diangkat menjadi anggota dari sidang Penulis Wahyu. Muawiyah banyak meriwayatkan hadits, baik yang langsung dari Rasulullah, ataupun dari para sahabat yang terkemuka, dan dari saudara perempuannya, Habibah binti Abi Sufyan, isteri Rasulullah, dan dari Abdullah ibnu Abbas, Sa’ad ibnu Musaiyab, dan lain-lain.[5] Muawiyah wafat di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya, Yazid yang telah ditetapkannya sebagai putera mahkota sebelumnya.[6]

2.      Abdul Malik ibn Marwan 65 – 86 H.
Abdul Malik dipandang sebagai pendiri yang kedua bagi Daulah Umayyah. Ketika ia diangkat menjadi khalifah, Alam Islami sedang berada dalam keadaan pecah-belah. Diantaranya,Ibnu Zubair di Hijaz telah memprolamirkan dirinya sebagai khalifah, kaum Syi’ah mengadakan pemberontakan, dan kaum Khawarij membangkang pula. Al Mukhtar ibnu ‘Ubaid as Tsaqafi mengerahkan sejumlah besar tentara untuk mengganas.
Abdul Malik telah berhasil mengembalikan seluruh wilayah taat kepada kekuasaannya. Begitu pula telah dapat menumpas segala pembangkangan dan pemberontakan. Sebab itu ia berhak disebut sebagai “pendiri yang kedua” bagi Daulah Umayyah.
Abdul Malik memperoleh pendidikan tinggi, dan ia dipandang sebagai salah seorang dari ahli-ahli fiqh yang kenamaan di Madinah, setaraf dengan Sa’id ibnul Musaiyab dan Urwah ibnu Zubair. Asy Sya’bi (salah seorang ulama besar), pernah berkata tentang Abdul Malik “Setiap kali aku berdebat dengan seseorang selalu ternyata bahwa aku dapat melebihinya, kecuali Abdul Malik. Setiap kali aku berdebat dengannya tentang suatau hadist atau sya’ir, ia senantiasa menambah pengetahuanku.`
Beliau tabah, tak dapat digoncangkan oleh kesukaran-kesukaran yang bagaimanapun juga. Bahkan beliau malah ingin mendobrak segala kesukaran-kesukaran itu.[7]
3.      Umar ibn Abdul ‘Aziz 99 – 101 H.
Umar ibn Abdul ‘Aziz dilahirkan di kota Hulwan, tidak jauh dari Kairo, pada saat itu ayahnya seorang gubernur di Mesir. Tetapi Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan bahwa Umar dilahirkan di Madinah. Silsilah keturunanya dari pihak ibunya, bersambung kepada khalifah yang kedua yaitu Umar ibnul Khattab. Dimasa kecilnya, ia tinggal bersama paman-paman dari ibunya di Madinah. Dalam suasana yang semerbak itulah ia mempelajari bimbingan-bimbingan dan pendapat-pendapat yang sehat, dan disana pulalah ia tumbuh dengan baik. Pendidikan yang diperolehnya dalam masa tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat-sifatnya yang istimewa dan terpuji.
Setelah ia menginjak usia remaja, ia menikah dengan Fatimah yang merupakan seorang puteri dari Abdul Malik, pamannya sendiri. Pada masa pemerintah Khalifah Al-Walid, Umar menjadi seorang gubernur di Madinah.
Umar pernah dipecat oleh Khaliafah Al-Walid dari jabatannya sebagai gubernur Madinah, karena terjadi perselisihan antara Umar dan Al Hajjaj, atau karena Umar tidak menyetujui tindakan Al Walid untuk memecat Sulaiman ibnul Abdil Malik dari kedudukannya sebagai putera mahkota, dan untuk mengangkat putera Al Walid sendiri sebagai putera mahkota.
Masa pemerintahan Umar ibn Abdul ‘Aziz ini, walaupun sangat pendek, namun ia merupakan suatu masa yang berdiri sendiri, mempunyai ciri-ciri sendiri dan mengandung falsafah ilmu murni, yang tidak terpengaruh oleh aliran-aliaran dan peraturan-peraturan Bani Umayyah.[8]
4.      Al-Walid I (ibn Abdul Malik) 89 – 96 H.
Al-Walid dilahirkan pada tahun 50 H. Ia mempelajari kebudayaan Islam. Tetapi pendidiknnya tentang bahasa Arab sangat lemah, sehingga ia kurang fasih. Menurut riwata, ayahnya Abdul Malik pernah berkata: “Cinta kasih kami kepada Al-Walid telah membahayakan dirinya, sebab kami tidak mau mengirmkannya ke padang pasir”. Padahal padang pasir merupakan sekolah yang terbaik bagi orang-orang yang ingin mempelajari bahasa Arab yang fasih, jauh dari cacat-cacat yang biasa terdapat dalam bahasa orang-orang di kota, yang disebabkan karena pergaulan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa asing. Tetapi ayahnya tidak membiarkan Al-Walid dengan cacatnya itu, bahkan dengan tegas ia berkata padanya: “Yang dapat memimpin bangsa Arab hanyalah orang yang baik bahasanya”. Sebab itu, Al-Walid mengumpulkan ulama-ulama nahwu, lalu ia belajar kepada mereka dengan rajinnya.
Al-Walid adalah orang yang terbaik untuk menerima kerajaan itu, dan orang yang terbesar untuk memelihara warisan itu.[9]


5.      Hisyam ibn Abdul Malik 105 – 125 H.
Masa pemerintahan Hisyam cukup lama, yaitu kira-kira 20 tahun. Hisyam termasuk khalifah-khalifah yang terbaik. Terkenal sebagai seorang penyantun dan bersih pribadinya. Ia telah mengatur kantor-kantor pemerintahan dan membetulkan perhitungan keuangan negara dengan amat teliti. Musuh-musuh Bani Umayyah pun mengakui kebagusan pembukuan dimasa Hisyam. Abdullah ibnu Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas berkata: “Aku telah mengumpulkan buku-buku administrasi Bani Marwan, maka tidak ada suatu buku administrasipun yang lebih betul, dan lebih berfaedah bagi rakyat dan pemerintah dari pada buku-buku administrasi Khalifah Hisyam”. Dengan demikian keuangan negara dapat berjalan lancar dan sangat teratur, sehingga tak ada lagi kesempatan untuk menggelapkan sejumlah uang yang seharusnya menjadi milik Baitulmal.
Salah satu dari riwayat-riwayat yang menceritakan bagaimana cermatnya Hisyam mengeluarkan uang ialah riwayat At Thabari yang mengatakan bahwa ‘Aqqal ibnu Syabah datang menghadap Hisyam ketika ia bermaksud mengutus ‘Aqqal ke Khurasan pada tahun 125 H. ‘Aqqal berkata: “Ketika itu Hisyam memakai mantel berwarna hijau. Aku mengamat-amati mantelnya itu. Rupanya Hisyam mengetahui hal ini dan ia bertanya kepadaku: “Apa sebabnya kau renungi mantelku ini?” Aku menjawab: “Aku telah pernah melihat tuan memakai mantel seperti ini sebelum tuan jadi khalifah 20 tahun yang lalu, sehingga aku mengira bahwa mantel ini adalah yang dulu itu”. Hisyam berkata: “Betul, demi Allah, ini adalah mantel yang dulu itu, dan aku tak punya mantel selain ini. Adapun uang yang kukumpulkan dan kusimpan itu adalah unutuk kamu sekalian.[10]






B.     Sejarah Pendidkan Pada Masa Bani Ummayah
1.      Pendidikan
Bani Ummayah pada umumnya baru masuk Islam setelah fath al-Makkah. Bani Ummayah sebenarnya sudah mempunyai keinginan untuk menduduki jabatan khalifah sejak saat Rasulullah meninggal, namun maksud itu belum tercapai kaena ada halangan dari Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Kedua tokoh ini adalah sahabat yang pert ama dan utama masuk Islam. Harapan Ummayah baru tercapai setelah terpilihya Utsman bin Affan sebagai khalifah yaitu ketika Muawiyah diangkat menjadi Gubernur di Syam.
Tewasnya khalifah Ali ibnu Abi Thalib memberi kesempatan dan peluang yang baik untuk memuluskan harapan Muawiyah yaitu menduduki jabatan khalifah, yang telah menjadi idamannya sejak Utsman bin Affan menjadi khalifah. Naiknya Muawiyah menjadi khalifah berarti sistem baru dalam kekhalifahan dimulai. Pengganti khalifah tidak lagi dipilh seperti khalifah-khalifah sebelumnya, akan tetapi diwariskan kepada keturunannya. Dalam mengendalikan pemerintahannya hampir seluruh perhatiannya ditunjukkan dalam masalah politik dan keamanan. Percaturan politik dan gerakan-gerakan militer yang terjadi pada masa ini, baik dalam usaha perluasan, wilayah Islam maupun dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan militer yang terjadi, menimbulkan pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang alam fikiran.
Menurut Hasan Nasution bahwa, ekspansi yang dilakukan Dinasti Bani Ummayah inilah yang menjadikan Islam menjadi negara besar di zaman itu. Dari persatuan berbagai bangsa dibawah naungan Islam, timbullah benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam yang baru, sungguhpun Bani Ummayah lebih banyak memusatkan perhatian kepada kebudayaan Arab. Pendapat ini mengindikasikan bahwa kerajaan Ummayah bercorak Arab tulen walaupun ibu kotanya berpindah dari jantung negari Arab kesuatu wawasan dimana bertemunya dua peradaban Romawi dan Persia. Sastra dan syair-syair maju, sedang seni bidang Islam terpampang di masjid Damaskus.[11]
Perubahan bahasa adminstrasi dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab dimulai oleh Abdul Al-Malik. Orang-orang bukan Arab pada waktu itu telah mulai pandai berbahasa Arab. Untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab, terutama pengetahuan pemeluk-pemeluk Islam baru dari bangsa-bangsa bukan Arab, perhatian kepada bahasa Arab, terutama tata bahasanya, mulai diperhatikan. Inilah yang mendorong Sibawaih untuk menyusun Al-Kitab, yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Perhatian kepada syair Arab Jahiliyah timbul kembali dan penyair-penyair Arab timbul seperti Umar Ibn Abi Rabi’ah (w.719 M), Jamil Al-Udhri (w. 701 M), Qays Ibn Al-Mulawwah (w. 699 M), yang lebih dikenal dengan Majnun Laila, Al-Farazdaq (w.732 M), Jarir (w.792 M), dan Al-Akhtal (w. 710 M).
Juga perhatian kepada tafsir, hadits, fikih dan ilmu kalam di zaman inilah dimulai dan timbullah nama seperti Hasan Al-Basri, Ibn Shihab Al-Zuhri dan Wasil Ibn Ata’. Yang menjadi pusat dari kegiatan-kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak.[12]
Pada zaman Umayyah juga merupakan permulaan gerakan terjemahan dari berbagai bahasa ke bahasa Arab, tetapi ini terbatas pada individu-individu dan mencerminkan keprihatinan perseorangan atau usaha-usaha pribadi.
Periode pendidikan Islam pada zaman Umayyah memilki memilki beberapa ciri-ciri istimewa yaitu bercorak Arab dan Islam tulen. Ini disebabkan karena pengaruh mayoritas orang Arab, sedangkan elemen-elemen Islam yang baru belum menyerupai budaya dengan sempurna. Juga karena unsur-unsur Arab itulah yang utama sekali memberi arah pemerintahan politik, agama, dan budaya. Pada periode ini, diaturlah lingkaran-lingkaran (halaqah) pelajaran di mesjid-mesjid.[13]
Pendidikan yang diperuntukkan bagi rakyat biasa merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi masih hidup, yang merupakan sarana pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan agama. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan Islam secara umum yang ada kaitannya dengan budi daya dan peri kehidupan umat Islam sendiri. Dengan demikian, maka tidaklah mengherankan bila usaha kegiatan pendidikan dan pengembangan ilmu memperoleh kesempatan yang baik.[14]


2.      Tujuan
Tujuan dari kedua bentuk pendidikan tersebut, maka akan diperoleh ilmu pengetahuan dan hakekat kebenaran yang ditunjang oleh keyakinan agama. Pendidikan secara umum bertujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan ditunjang oleh keyakinan agama. Sedangkan pendidikan khusus bertujuan untuk memperoleh kekuasan dan kekuatan politis. Adanya perbedaan tujuan pendidikan ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan hidup. Pendidikan umum menghasilkan pimpinan formal yang didukung oleh jabatan kenegaraan dengan wibawa kekuasaan, sedangkan pendidikan khusus menghasilkan para ulama atau pimpinan nonformal sebagai pendamping pimpinan formal.[15]
3.      Pendidik
Pendidikan terbagi ke dalam dua bagian yakni pendidikan umum dan pendidikan khusus. Pendidikan umum adalah pendidikan yang diperuntukan bagi rakyat biasa. Pendidkan ini merupakan kelanjutan dari pendidkan yang telah dilaksanakan pada zaman nabi masih hidup, ia merupakan sarana pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan agama. Dalam hal inilah, ulama memikul tugas mengajar dan memberikan bimbingan serta pimpinan kepada masyarakat. Ulama bekerja atas dasar kesadaran dan keinsyafan moral serta tanggung jawab agama, bukan atas dasar pengangkatan dan penuujukan pemerintah. Jaminan hidup mereka ditanggulangi sendiri dengan mengerejakan pekerjaan lain diluar waktu tugas mengajar, atau ada juga yang menerima sumbangan dari murid-muridnya.
Pendidikan khusus yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak khalifah dan anak-anak para pembesarnya. Guru-gurunya disebut muaddib, karena dibebani kewajiban mendidik budi pekerti muridnya atau meriwayatkan kecerdasan dan kecakapan orang-orang besar masa lampau. Para muaddib ini ditempatkan disekitar istana agar mereka senantiasa mendampingin dan mengawasi muridnya.[16]
Tokoh-tokoh pendidikan pada masa Bani Umayyah terdiri dari ulama-ulama yang menguasai bidangnya masing-masing seperti dalam bidang tafsir, hadist, dan fiqh. Selain para ulama juga ada ahli bahasa/sastra.
·         Ulama-ulama tabi’in ahli tafsir, yaitu: Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah.
Pada masa tabi’in tafsir Al-Qur’an bertambah luas dengan memasukkan Israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani memeluk agama Islam. Diantara mereka yang termashyur ialah, Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij.
·         Ulama-ulama hadist: Kitab bacaan satu-satunya ialah al-Qur’an. Sedangkan hadist-hadist hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Dari mulut guru ke mulut muridnya, yaitu dari hafalan guru kepada murid sehingga menjadi hafalan murid pula dan begitulah seterusnya.
Ulama-ulama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis-hadis ialah: Abu Hurairah (5374  hadist), ‘Aisyah (2210 hadist), Abdullah bin Umar (± 2210 hadist), Abdullah bin Abbas (± 1500 hadist), Jabir bin Abdullah (± 1500 hadist), dan Anas bin Malik (± 2210 hadist).
·         Ulama-ulama ahli Fiqih: Ulama-ulama tabi’in Fiqih pada masa bani Umayyah diantaranya adalah Syuriah bin Al-Harits, ‘alqamah bin Qais, Masuruq Al-Ajda’, Al-Aswad bin Yazid.
Kemudian diikuti oleh murid-murid mereka, yaitu: Ibrahim An-Nakh’I (wafat tahun 95 H) dan ‘Amir bin Syurahbil As Sya’by (wafat tahun104 H). Setelah itu digantikan oleh Hammad bin Abu Sulaiman (wafat tahun 120 H), guru dari Abu Hanafiah.
·         Ahli bahasa atau sastra: Seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya Al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal berbahasa Arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair Arab Jahiliyahpun muncul kembali. Mengalami. Di zaman ini muncul pula penyair-penyair seperti Umar bin Abu Rabiah (w.719), Jamil al-uzri (w.701), Qys bin Mulawwah (w.699) yang dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq (w.732), Jarir (w.792), dan Al akhtal (w.710).
Dalam bidang pertama umpamanya dijumpai ulama-ulama seperti Hasan al-Basri, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Wasil bin Ata. Pusat kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak. Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah (w.794/709) adalah seorang otrator dan penyair yang berpikir tajam. Ia adalah orang pertama yang menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran, dan kimia.[17]

4.      Peserta Didik
Pada masa Bani Ummayah, adalah pendidikan umum peserta didiknya yaitu, masyarakat pada umumnya, sedangkan pada pendidkan khusus, peserta didiknya adalah anak-anak khalifah dan anak-anak para pembesarnya.[18]
5.      Metode
Dalam pembelajaran al-Qur’an, metode pembelajaran yang digunakan adalah metode hafalan, dimana anak-anak menghafal surat-surat singkat dan mereka pun membaca bersama-sama, hal ini diulang berkali-kali sampai merka hafal diluar kepala. Dalam metode ini soal dari  arti-arti surat yang mereka hafal tidak dipentingkan, murid-murid menghafal ayat-ayat tersebut tanpa mengerti maksudnya hanya untuk sekedar mengambil berkat al-Qur’an dan menanamkan jiwa keagamaan, jiwa yang soleh dan bertaqwa didalam diri anak-anak yang masih muda itu, dan dengan keyakinan bahwa periode anak-anak adalah waktu yang sebak-baiknya buat penghafalan secara otomatis dan memperrat ingatan.
Metode menghafal juga digunakan untuk pengajaran syair dan sajak bagi anak-anak. Sedangkan untuk pembelajaran membaca dan menulis diajarkan metode praktek langsung. Khusus untuk menulis diajarkan menulis indah. Kaum muslimin sangat memperhatuk menulis diajarkan menulis indah. Kaum muslimin sangat memperhatikan sekali soal menulis indah, dan digolongkan dengan seni lukis.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pendidikan Islam pada zaman Bani Ummayah adalah bersifat Arab dan Islam tulen, berusaha menangguhkan dasar-dasar agama Islam yang baru muncul itu, memprioritaskan pada penterjemahan ke dalam bahasa Arab, menunjukkan perhatian pada bahan tertulis sebagai media komunikasi, menggunakan surau dan mesjid.[19]
6.      Kurikulum
Kurikulum pendidikan adalah rencana pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Rencana pembelajaran yang diberikan pada pendidikan khusus meliputi :
a.       Melukis dan membaca
b.      Al-qur’an dan al-hadis
c.       Bahasa Arab dan syair-syair yang baik
d.      Sejarah bangsa Arab dan peperangannya
e.       Adab kesopanan dan perilaku pergaulan
f.       Pelajaran keterampilan menggunakan senjata, menunggang kuda dan kepemimpinan berperang
Sedangkan kurikulum yang disampaikan pada pendidikan umum yaitu meliputi :
a.       Al-Qur’an
b.      Menulis
c.       Puisi
d.      Prosa
e.       Tata bahasa sebagai alat bantu memahami al-Qur’an
f.       Kaligrafi[20]
Kurikulum yang diterapkan pada pendidikan khusus diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan, atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan dengan keperluan dan kebutuhan pemerintahan. Kurikulum ini diatur bukan hanya oleh guru saja akan tetapi orang tua murid pun turut pula menentukannya. Karena padatnya rencana pelajaran bagi murid-murid, maka pendidikan agama yang diberikan tidak seluas pendidikan lainnya. Sebab itu kebanyakan dari mereka tidak memilki kemampuan untuk memberikan fatwa kepada rakyatnya. Rupanya hal ini dianggap tidak begitu penting dan diperlukan. Bagi mereka mudah saja untuk mengangkat atau memanggil Ulama yang ‘Alim, yang lebih mampu dan sanggup memberikan fatwanya. Tempat pendidikannya berada dalam lingkungan istana. Guru-gurunya ditunjuk dan diangkat oleh Khalifah dengan mendapat jaminan hidup lebih baik. [21]
7.      Lembaga
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Syam (Palestina), Fistat (Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan, seni rupa, amuoun seni suara.
Pada masa khalifah-khalifah Rasyidin dan Umayyah sebenarnya telah ada tingkat pengajaran, hampir sama seperti masa sekarang. Tingkat pertama ialah Kuttab, tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al-Qur’an serta belajar pokok-pokok Agama Islam. Setelah tamat Al-Qur’an mereka meneruskan pelajaran ke mesjid. Pelajaran di mesjid itu terdiri dari tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkah menegah gurunya belumlah ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, gurunya ulama yang dalam ilmunya dan mahsyur ke’aliman dan kesalehannya.[22]
Perhatian kepada tafsir, hadist, fikih, dan ilmu kalma di zaman inilah dimulai dan timbullah nama-nama seperti Hasan Al-Basri, Ibn Shihab Al-Zuhri dan Wasil Ibn Ata’. Yang menjadi pusat dari kegiatan-kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak.[23]
·         Pendidikan Keluarga
Pendidikan Islam dimulai sejak dalam keluarga. Pergaulan anak dengan seisi rumah dan teman-teman sepermainannya merupakan pengalaman. Yang sangat bernilai dan berkesan dalam jiwanya. Dari pengalaman dan pergaulan inilah ia memperoleh kesan pendidkan yang pertama, yang akan memberi bentuk dan corak kepribadian serta keimanan anak pada masa dewasanya.
Asas-asas pokok perkembangan anak masih bersifat kejadian, ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya tanpa berdasarkan perbuatan dan kemauan. Karena itu, anak lebih memerlukan bantuan dan pertologan serta dorongan dari orang-orang yang telah dewasa. Dalam kelangsungan pertumbuhan dan perkembangannya itu, ia membutuhkan pemeliharaan dan pembinaan umum serta latihan-latihan tingkah laku, gerakan-gerakan dan lain sebagainya, hingga ia kelak sanggup dan mampu melaksanakan segala apa yang perlu bagi hidup dan kehidupannya.[24]
·         Kuttab
Setelah anak cukup umur untuk menerima pelajaran yang lebih maju daripada pendidikan di rumah, mereka memerlukan pendidikan di rumah, merka memerlukan pendidikan yang lebih terarah yang tidak mungkin diaksanakan oleh orang tuanya semata, akan tetapi memerlukan bantuan orang lain yang lebih mampu dan sanggup mengerjakannya.
Menempatkan anak-anak belajar di mesjid, akan menimbulkan kegaduhan yang mengganggu orang lain yang sedang melaksanakan ibadahny. Selain itu, kebersihan mesjid pun tidak terjamin. Jalan keluar dari kesulitan ini adalah mendirikan ruangan khusus di luar rumah dan di luar ruangan mesjid. Tempat belajar anak-anak ini kemudian disebut Kuttab. Sebenarnya Kuttab ini telah ada sejak zaman Jahiliyah, yaitu tempat belajar membaca dan menulis bagi anak-anak, hanya saja kurang mendapat perhatian.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kuttab ini mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan bentuk serta sistem organisasinya. Akan tetapi, bentuk Kuttab yang pertama masih tetap menjalankan fungsinya semula, dengan guru-gurunya terdiri dari orang-orang Dzimmi yang melulu mengajar menulis dan membaca. Guru-guru Kuttab di Madinah adalah orang-orang Yahudi, dan tatkala terjadi perang Badr, gurunya adalah orang-orang Quraisy yang menjadi tawanan kaum Muslimin. Sedang guru bagi Kuttab lainnya adalah kaum Muslimin sendiri. Mereka tidak hanya mengajar membaca dan menulis semata, akan tetapi juga mengajarkan al-Qur’an dan dasar-dasar pokok ajaran agama Islam. Kuttab ini mulai muncul pada zaman Al Hajjaj Ibnu Yusuf Ats Tsaqafi. Dalam Kuttab ini, anak-anak mulai menghafal al-Qur’an secara teratur. Ide pemerataan kecerdasan umum bagi seluruh rakyat telah dilaksanakan dalam Kuttab ini.[25]
·         Mesjid
Mesjid merupakan suatu lembaga pendidikan Islam sejak awal pertama dibangun oleh Nabi SAW. Dari mesjid dikumandangkan seruan iman, taqwa, akhlak, dan ajaran-ajaran kemasyarakatan; baik yang berhubungan dengan kehidupan kenegaraan maupun yang berhubungan dengan sosial ekonomi dan sosial budaya yang adil dan beradab serta diridhoi Allah SWT. Guru pertamanya adalah Rasulullah SAW sendiri. Pada saat mengajar beliau duduk dikelilingi oleh para sahabatnya, tua dan muda. Dasar-dasar pendidikan telah diletakkan dengan kokoh dan mendasar dalam teori dan dalam suasana praktis. Materi pelajaran adalah al-Qur’an.
Peranan mesjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya cakap dan mampu untuk memberikan atau mengajarakan ilmunya kepada orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Setelah pelajaran anak-anak di Kuttab berakhir, mereka melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah yang dilakukan di mesjid.[26]
·         Majlis Sastra
Majlis sastra adalah perkembangan dari mesjid yang biasa dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin bersama para sahabat lainnya untuk bermusyawarah dan berdiskusi tentang masalah-masalah yang memerlukan pemecahan secara tuntas. Dalam majlis ini para sahabat mempunyai kebebasan yang penuh dalam mengemukakan kritikan-kritikan dan pendapat-pendapatnya.[27]
8.      Evaluasi
Dari pendidikan yang diberlakukan pada masa Bani Umayyah, tidak ditemukan evaluasi yang berlaku umum. Karena disamping pola pendidikannya masih sangat sederhana. Evaluasi juga dilakuakan per satuan pendidikan. Hanya saja, pada skala makro, khalifah atau gubernur di masa itu memang melakukan evaluasi berbagai paham atau wacana keagamaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi menguatnya paham qadariyyah yang dianggap mengancam eksistensi kekuasaan Bani Umayyah.







BAB III
ANALISIS
Bani Umayyah adalah orang-orang terakhir masuk Agama Islam, dan juga merupakan musuh-musuh yang paling keras terhadap agama ini pada masa-masa sebelum mereka memasukinya.[28] Bani Ummayah pada umumnya baru masuk Islam setelah fath al-Makkah. Bani Ummayah sebenarnya sudah mempunyai keinginan untuk menduduki jabatan khalifah sejak saat Rasulullah meninggal, namun maksud itu belum tercapai kaena ada halangan dari Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Kedua tokoh ini adalah sahabat yang pert ama dan utama masuk Islam. Harapan Ummayah baru tercapai setelah terpilihya Utsman bin Affan sebagai khalifah yaitu ketika Muawiyah diangkat menjadi Gubernur di Syam.[29] Tetapi setelah masuk Islam, mereka dengan segera dapat memperlihatkan semangat kepahlawanan yang jarang tandingnya, seolah-olah mereka ingin mengimbangi keterlambatan mereka itu dengan berbuat jasa-jasa yang besar terhadap Agama Islam, dan agar orang lupa kepada sikap dan perlawanan mereka terhadap Agama Islam sebelum mereka memasukinya. Mereka benar-benar telah mencatat prestasi yang baik sekali dalam peperangan yang dilancarkan terhadap orang-orang yang murtad danorang-orang yang mengaku Nabi, serta orang-orang yang enggan membayar zakat.[30]
Pada periode pemerintahannya, Dinasti Bani Umayyah terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri sekaligus memperluas daerah kerajaan. Hal ini berdampak kepada kurangnya perhatian pada perkembangan ilmiah keagamaan, termasuk pendidikannya.
            Syed Ameer Ali mengatakan: “Selama pemerintahan Bani Umayyah orang-orang Arab telah dijadikan golongan berkuasa, ___ golongan bangsawan militer dalam kalangan rakyat mereka. Kebanyakan dari mereka menduduki jabatan pimpinan militer. Jabatan-jabatan yang lembut tentang ke’arifan dan ilmu pengetahuan diserahkan kepada Bani Hasyim yang mereka curigai itu dan anak-anak kaum Anshar ___ kepada keturunan Ali, Abu Bakar dan Umar.[31]
Dalam periode ini, tampak terjadi polarisasi antara tradisi istana dengan ilmiah keagamaan. Sehingga membentuk dua jenis pendidkan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu pendidkan khusus dan pendidkan umum.[32] Adapun bidang keilmuan yang berhasil dikembangkan seacara spektakuler dan memilki pengaruh besar sampai masa kin adalah bidang hadis terutama semenjak Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz memerintah sekaligus berperan langsung dalam gerakan kodifikasi hadis di pergantian abad I-II H.
Ekspansi yang dilakukan Dinasti Bani Ummayah inilah yang menjadikan Islam menjadi negara besar di zaman itu. Dari persatuan berbagai bangsa dibawah naungan Islam, timbullah benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam yang baru, sungguhpun Bani Ummayah lebih banyak memusatkan perhatian kepada kebudayaan Arab. Pendapat ini mengindikasikan bahwa kerajaan Ummayah bercorak Arab tulen walaupun ibu kotanya berpindah dari jantung negari Arab kesuatu wawasan dimana bertemunya dua peradaban Romawi dan Persia. Sastra dan syair-syair maju, sedang seni bidang Islam terpampang di masjid Damaskus. Hal ini diungkapakan oleh Hasan Nasution.[33]
Untuk mendorong perkembangan ilmu pengetahuan maupun agama, pada masa pemerintahan Bani Umayyah dilakukan dengan jalan memberikan motivasai yang dilakukan oleh para khalifah. Mereka selalu memberikan hadiah cukup besar bagi para ulama dan ilmuwan yang berprestasi dalam bidangnya. Untuk itu pemerintahan menyediakan anggaran yang cukup besar.
Pusat penyebaran ilmu pengetahuan dan agama pada waktu itu terdapat di mesjid-mesjid. Dimesjid-mesjid itulah terdapat kelompok belajar dengan masing-masing gurunya yang mengajar ilmu agama dan umum. Sebagai contoh, Abdullah bin Abbas mengajar ilmu tafsir di Masjidil Haram Mekkah dan Ja’far Ash Shidiq mengajar ilmu Kimia di mesjid Nabawi Madinah.[34]



BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dinasti daulah Bani Umayyah berkuasa cukup lama yakni kurang lebih 91 tahun lamanya. Kebijakan dan perubahan yang dilakukan oleh para khalifah tersebut pelajaran penting bagi pemimpin-pemimpin Islam saat ini. Bani Umayyah dalam pengembangan pola pendidikan Islam memang masih sama dengan periode sebelumnya tetapi sudah ada reformasi yang dilakukan dengan baik dari segi kurikulumnya maupun tata cara yang dilakukan oleh para pendidiknya.
Kemajuan pengetahuan dan pembaharuan sistem pendidikan pada masa Bani Umayyah sudah terlihat. Terbukti dengan pemerintah Bani Umayyah yang menaruh perhatian sangat dalam terhadap bidang pendidikan. Memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar ilmuan, para seniman, dan para ulamamau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu.
B.     Saran
Dengan mengetahui sejarah pendidikan pada masa Bani Umayyah, kita sebagai mahasiswa diharapkan mampu mengambil pelajaran dan hikmah dari sejarah pendidikan pada masa tersebut. Sehingga kita bisa mengaplikasikan dan mengembangkan pada lembaga-lembaga pendidikan yang kita bina nantinya.
Pemakalah menyadari, bahawa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahannya. Untuk itu, kami selaku pemakalah meminta kritik dan saran dari para pembaca sekalian.





DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 2011. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia
Syalabi, A. 1988. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Hamzah, Yusuf. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Tasikmalaya: YSB. PP. Suryalaya
Soekarno, H. dan Ahamd Supradi.1990. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa


[1] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2,  Jakarta Pusat:  Pustaka Alhusna,  Cet.V, 1988. Hal.24
[2] Dr. Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, Surabaya:  Logos Wacana Ilmu, Cet.I, 1997 hal. 72
[3] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat:  Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988  hal.30
[4] Dr. Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, Surabaya: Logos Wacana Ilmu, Cet.I, 1997 hal. 73
[5] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna,  Cet.V, 1988 hal.30
[6] Dr. Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, Surabaya:  Logos Wacana Ilmu, Cet.I, 1997. Hal. 74
[7] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat:  Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988 hal.69
[8] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat:  Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988, hal.101
[9] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat:  Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988, hal.88
[10] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988, hal.124
[11] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan Islam, Hal. 23
[12] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia, 2011, hal. 57
[13] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 23
[14] Drs. H. Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: 1990, Angkasa, hal.73
[15] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 24
[16] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 24
[17] http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/
[18] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 25
[19] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 25
[20] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 25
[21] Drs. H. Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: 1990, Angkasa, hal.73
[22] http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/
[23] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia, 2011, hal. 57
[24] Drs. H. Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 1990, hal.74
[25] Drs. H. Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angakasa, 1990, hal.78
[26] Drs. H. Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 1990, hal.80
[27] Drs. H. Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa,1990, hal.82
[28]  Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988, hal.26
[29] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidkan Islam, hal.23
[30] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, Cet.V, 1988, hal.26
[31] Drs. H. Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angakasa, 1990, hal.71
[32] Drs. H. Soekarno dan Drs. Ahmad Supradi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angakasa, 1990, hal.73
[33] Yusuf Hamzah, Sejarah Pendidikan Islam, Hal. 23
[34] Fatwa, hal.4